Selasa, 30 Maret 2010

Cinta Pun Cuek dengan Diriku (Page 1-10)

Di kamarku...
“Vit! Vita! Dipanggil sama ortu kok diem aja?” jerit mamaku setelah dengan sukses menyusup ke kamarku yang memang nggak aku kunci.
“Apa sih, Ma? Orang aku lagi tidur!” kataku membela diri.
“Tidur?! Tidur?! Udah jam segini kamu masih tidur?! Aduh, Vita sayang, kamu itu Mama didik untuk selalu bangun pagi. Tapi kok udah jam sembilan kamu masih tidur?!” omel Mamaku.
“Kemarin kan Vita begadang, Ma! Mama keluar aja sana! Vita mau tidur lagi. Bye Mama!” suruhku sambil mendorong Mamaku keluar dari kamarku.
“Vita, sama ortu sendiri kok nggak so – “ kata-katanya terputus karena saking kagetnya beliau melihat pintu kamarku sudah tertutup.
“Ya ampun, Vita! Oke deh! Nanti jam sepuluh kamu udah harus mandi! Awas kamu kalau belum mandi!” ancamnya sambil berjalan menjauhi kamarku.
“Iya, Ma! Vita tidur lagi ya!” teriakku dari dalam kamar.
Jujur ya, sebenernya aku udah bangun dari jam lima pagi tadi. Remember what my mother said? ‘Aduh, Vita sayang, kamu itu Mama didik untuk selalu bangun pagi’. Dan bener apa yang dikatakan beliau. Aku jadi kebiasaan bangun jam lima pagi terus walaupun aku tidur jam berapapun. Dari jam lima tadi, aku di kamar merenung, eh, melamun lebih tepatnya. Karena aku sebenernya lagi memikirkan Theo. Oh, Theo! Pujaan hatiku, belahan jiwaku, jodohku! Amin! Theo itu anak orang kaya. Tapi dia sama sekali nggak sombong. Dia tetanggaku plus sahabatku. Walaupun sebenernya dia udah punya pacar yang cantik dan tinggi. Tapi sombong, matre, pemarah, dan kepalanya itu loh! Keras banget! Maksudku keras kepala, semaunya sendiri. Namanya Citra. Aku jadi inget waktu pelajaran Agama pas SMP dulu.
Waktu itu guru agamaku tanya sama aku, “Vita, apa arti kata citra?”. Aku yang dulu pikun dan telmi banget bingung. Akhirnya aku jawab dengan dua kata yang pertama kali muncul di kepalaku. “Citra? Bukannya citra itu body lotion, Pak?” Spontan teman-temanku langsung ketawa. Akhirnya aku dihukum sama guruku deh!
Balik ke topic awal. Sejak pertama kali dikenalin Citra sama Theo, spontan aku ngomong, “Body lotion dong! Pantes putih!” Dan sejak saat itu juga, Citra benci sama aku dan kelihatan jijik banget sama aku. Tapi, so what? Aku juga nggak rugi nggak temenan sama dia.
“Vita! Udah setengah sepuluh! Kamu udah mandi belum?!” teriak seseorang yang aku yakini Mamaku dari lantai bawah.
“Belum Ma! Ini Vita lagi jalan ke kamar mandi!” jawabku. Padahal dari tadi aku masih tiduran di atas tempat tidurku yang empuk sambil memeluk bantal.
“Bohong! Mama tahu kamu masih di kamar tidur! Ayo bangun!”
“Kok tahu sih, Ma? Emang Mama ngintip ya? Ayo ngaku!”
“Aduh, Vita sayang, kan lan-“ Sungguh kasihan. Lagi – lagi kata – kata beliau terputus lagi.
“Kalau Mama manggil aku pakai kata ‘Vita sayang’ aku nggak bakal jawab kalau Mama manggil. Aku serius nih!” ancamku.
“Ye… lagian kamu juga nanti yang rugi. Mama lanjutin ya? Masak kamu lupa kalau lantai kamarmu itu terbuat dari kayu? Jadi, biar bagaimanapun kamu berjalan, berlari, atau berjingkat – jingkat pun pasti kedengeran di dapur. Kamarmu kan tepat di atas dapur!”
“Iya juga ya. Tapi ngomong – ngomong, Mama lagi ngapain di dapur?”
“Tidur! Ya masak lah, Vita sa-. Eh, Vita. Untung Mamamu yang pinter ini inget dengan ancamanmu yang aneh itu. Ckckck… anak aneh.”
“Mama pinter? Oke deh, aku ngaku Mama pinter. Soalnya anaknya pinter karena Mamanya pinter. Tapi kalau aku aneh, Mama berarti juga aneh. Lagian ancamanku yang Mama bilang aneh kok masih diinget-inget. Aku aja udah lupa!”
“Berarti kamu pikun! Masih kelas 2 SMA kok udah pikun! Mama aja belum pikun!”
“Belum? Belum? Ya ampun! Mama nyadar nggak sih? Siapa juga yang lupa matiin kompor waktu manasin sop sampai airnya tinggal dikit? Siapa juga yang lupa naruh STNK mobilnya sendiri? Siapa juga yang lupa kapan ulang tahunnya anak satu-satunya yang cantik dan imut ini? Dan coba Mama pikir-pikir lagi deh! Anniversary sendiri aja lupa!” kataku sambil menyebutkan beberapa kepikunan Mamaku yang aku ingat.
“Udah deh! Yang lalu biarkan berlalu! Cepet kamu mandi! Mau diajak Papamu jalan-jalan! Ikut nggak?”
“Ke mana? Jangan bilang mau ke bengkel nih! Bosen kali aku, Ma, kesana terus!”
“Ya udah. Papamu mau ajak kamu ke bengkel terus kita jalan-jalan ke Citraland!”
“Serius, Ma?! Oke deh! Aku mandi dulu! Jangan ditinggal lo, Ma! Aku mandinya nggak lama kok! Sepuluh menitanlah!”
“Iya iya! Cepetan mandi! Jangan lari ke kamar mandi! Nanti kepeleset lagi kayak dulu sampe kamu nggak bisa jalan! Hahaha…”
“Ih! Kan Mama sendiri yang bilang! Yang lalu biarkanlah berlalu! Udah ah! Mama! Handuk Vita mana? Nggak Mama pakai kan?”
“Nggak! Kamu cari aja di kamar mandi! Mungkin digantung di situ.”
Aku pun segera meluncur ke kamar mandi. Tapi saat akan masuk ke kamar mandi aku mengurangi kecepatanku. Takut kepeleset! Dulu pernah, karena bener-bener pingin buang air kecil, aku lari. Tapi kepeleset dan kakiku nggak bisa jalan karena keseleo! Tapi, yang lalu biarkanlah berlalu. Aku pun segera mandi karena takut ditinggal Mama dan Papaku tercinta yang memang serius dengan omongannya.


Di bengkel Papaku…
Gila! Aku nggak salah lihat kan? Ini bengkel?! Bengkel?! Bengkelnya bersih, ada AC-nya, ada minimarket, WC-nya rapi dan nggak bau, dan lagi, mekaniknya keren-keren. Tapi nggak mungkin melebihi Theo! Who can beat Theo? No one! Hahaha…
“Vit? Ngelamun aja! Ayo Papa kenalin sama yang ngurus bengkel ini. Orangnya masih muda lo! Seumuran kamu. Tapi, pinter banget menjalankan bisnis bengkel. Nanti kalau bisa kamu pacaran sama dia, ya? Hahaha…”
“Papa garing deh! Emang namanya siapa sih, Pa? Beneran masih seumuran aku? Keren nggak?”
“Namanya itu... em… siapa ya? Em… Di… Di… Dio! Iya Dio! Beneran masih seumuran kamu kok. Orangnya keren sih, sekeren Papa dulu waktu masih muda.”
“Papa narsis juga ya! Katanya mau ngenalin Pa? Ayo! Kenalin aku! Aku penasaran nih!”
Oh iya, Papaku itu punya banyak bengkel di Semarang ini. Dan sekarang aku lagi di cabangnya yang berada di dekat Tugu Muda. Aku sering benget diajak jalan-jalan datengin bengkel. Tapi ini bengkelnya baru, dan yang ngurus juga bukan Papaku. Tapi Papaku yang punya. Aku aja heran, tumben Papaku nggak ngurus bengkel. Udah stress kali ya ngurus bengkel banyak banget. Dan oleh sebab itu, aku disuruh masuk ke universitas jurusan bisnis. Untung itu emang yang aku mau, jadinya aku nggak usah demo supaya bisa masuk ke jurusan lain.
“Masuk yuk! Ayo! Papa yang punya bengkel kok! Katanya mau kenalan?”
“Iya ini lagi jalan kali, Pa. Lo? Mana yang punya? Eh, yang ngurus.”
“Itu, lagi duduk di situ. Masak nggak lihat?” katanya sambil menunjuk ke salah satu kursi.
“Selamat siang Pak Anto. Selamat si-. Ya ampun, Vita?!”
“Tian? Andreas Tiantius? Jangan bohong lo?!”
“Maaf, Pak. Anak Bapak bernama Theresa Vita Antony?”
“Iya. Wah, kalian sudah saling kenal ya? Masa pendekatan jadi lebih mudah dong!”
“Tadi perasaan Papa bilangnya namanya Dio deh? Ini sih namanya Tian, Pa. Pacaran?! Aku pacaran sama dia?! Nggak mungkin, Pa! Pacaran sama adiknya Putri Titian yang nggak bener ini? Nggak akan! Kalau sama yang asli mending kali Pa!”
“Hah? Jadi kamu adiknya Putri Titian? Ya ampun!” Kenapa telminya Papa mesti kambuh sekarang sih?!
“Maaf, Pak. Saya bukan adiknya Putri Titian. Saya hanya sering dicela oleh teman-teman saya adiknya Putri Titian yang tidak terkenal. Sebenarnya saya bukan adik Putri Titian.” Masih bisa aja nih anak ngomong sopan! Kalau aku jadi dia, omonganku udah jadi kasar.
“Dan anak saya juga termasuk yang sering mengejek anda?” Alert! Alert! Dangerous! Papa mulai marah! Papa is getting mad!
“Em, betul Pak!” Tian! Why you are be so stupid now? Kamu nggak liat ya mata Papa yang udah berapi-api liat aku! Ya ampun! Tian! Why you being so blind? I hate you more!
“Jadi begini kelakuan kamu Vita saat bersekolah? Papa sungguh bangga atas kelakuanmu yang berani mengejek, em, siapa tadi nama kamu?” Di saat genting, Papa masih aja pikun!
“Tian, Pak. Andreas Tiantius.” Gila lo, Ti! Besok aku bunuh kamu di sekolah! Eh, aku ceburin sumur belakang rumah tetanggaku. Yang pasti bukan Theo!
“Terima kasih, Tian. Vita! Tega kamu! Apa aja sih yang Papa Mama didik sama kamu! Seingat Papa, kami tidak pernah mendidik kamu seperti ini! Kamu harus minta maaf pada Tian! Jika tidak, kamu harus masuk fakultas kedokteran!”
Apa?! Minta maaf sama Tian?! Kedokteran?! Harus?! Ya Tuhan! Wait, tunggu aku menyusun semua puzzle ini dalam benakku! Aku harus minta maaf sama Tian jika aku tidak ingin masuk fakultas kedokteran yang memusingkan dan menjijikkan itu! Fiuh… membayangkan aja udah bikin aku pucat pasi!
“Vita! Jika dalam 5 detik kamu nggak minta maaf sama Tian, Papa kembaliin formulir masuk fakultas bisnis dan ambil formulir masuk fakultas kedokteran! Papa serius! Satu, dua, tiga, empat setengah, empat seperempat, li-!”
“Oke! Oke! Fine, Papa! Fine! Tian, i’m sorry, I ever bother you. Could you forgive me?” kataku sama sekali tidak tulus.
“Kata macam apa itu? Pakai bahasa Indonesia yang baik dan benar. Yang tulus, Vita! Tulus! Apa yang Papa katakan tentang ikhlas?” Bilang aja deh Papa nggak bisa bahasa Inggris.
“Iya, Papaku sayang. Andreas Tiantius, maafkan saya atas apa yang telah saya perbuat kepada anda beberapa waktu yang lalu. Bisakah saudara memaafkan saya?” kataku sengaja dilembut-lembutkan.
“Tentu saja, Saudari Theresa Vita Antony. Saya bahagia Saudari bersedia meminta maaf pada saya. Terima kasih atas kebaikan hati anda,” jawab Tian dengan seringai iblisnya. Nggak usah pakai seringai iblis dia juga udah mirip iblis.
“Udah kan, Pa. Jadi ke Citraland nggak?” bisikku pelan.
“Wah, Papa lupa. Papa ada acara di bengkel ini. Kamu pergi sama Tian aja ya. Kamu mau kan Tian?” Papa tumben telminya tinggi banget. Nggak ngerti suasana atau gimana sih?
“Em, maaf, Pak. Saya, em, masih ada tugas. Lain waktu saya bisa, Pak. Mohon maaf, Pak,” tolak Tian terbata-bata mendapat tugas mendadak.
“Apa? Tian? Aduh, Papa. Kok sama Tian sih? Aku minta duit aja deh. Nanti aku jalan-jalan sendiri. Ya, Pa?” pintaku. Jangan sampai aku jalan-jalan sama Tian.
“Tian, tidak apa-apa kok. Kamu tidak akan saya pecat. Dan kamu Vita. Kamu nggak tahu, sekarang penculikan lagi marak-maraknya, masak kamu mau pergi sendiri? Apalagi kamu itu putri seorang pengusaha besar! Cantik lagi. Kamu cocok kok bertanding sama Tian. Kamu pendek, Tian tinggi. Cocok kok. Kalian jadi kayak pengantin baru!”
“Dalam nama diriku, Vita nggak mau! Aku anak pengusaha besar? Aku akui itu benar. Penculikan sedang marak terjadi? Saya akui lagi, itu memang benar. Saya cantik? Saya benar-benar mengakui itu benar. Saya cocok bertanding dengan Tian? Sungguh, Vita jijik mendengarnya. Saya pendek? Vita mengaku Vita memang pendek. Tian tinggi? Saya juga akui – jangan sela saya, Papa – saya akui Tian memang tinggi. Vita dan Tian seperti pengantin baru? Vita akui lebih baik Vita masuk fakultas kedokteran. Dan kamu, Tian. Saya pun mendukung anda untuk menyelesaikan tugas anda. Silahkan – Papa, jangan sela saya – ehm, silahkan anda lanjutkan tugas anda. Sebagai putri pimpinan anda, kamu saya beri kebebasan,” pidatoku panjang lebar.
“Vita! Kamu masuk fakultas sastra aja ya? Pidato dan kosa kata kamu bagus banget lo, Vit. Papa sampai heran mendengarnya. Kamu bela-“
“Papa, dalam hitungan ke-10 Papa nggak berhenti mengoceh, Vita bakal hancurkan perusahaan Papa saat Vita nanti yang memimpin. Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh!”
“Sebelas, dua belas, tiga belas, empat belas, lima belas, enam belas, tujuh belas…” Gila! Malah dilanjutin sama Papa!
“Pa! Vita serius nih! Kok malah diterusin sih?!” amukku.
“Papa juga serius. Kalau kamu nggak mau pergi sama Tian, Papa bakal langsung ke universitas ambil formulir kedokteran atau sastra. Dan Tian, kalau kamu memang masih ingin menyelesaikan tugasmu itu, kamu saya turunkan jabatan. Atau lebih parah lagi, saya pecat.”
“Papa! Papa sejak kapan sih jadi kayak gini? Vita nggak suka ka-“
“Dalam hitungan kelima kamu sama Tian nggak keluar, saya benar-benar akan memecat kamu Tian, dan memasukkan kamu ke fakultas kedokteran Vita. Satu, dua, ti-“
“Oke, Pa! Tapi, duitnya mana? Nanti aku nggak bisa ngopi di café sana. Seratus ribu ya, Pa. Itu sama Tian juga kok,” bujukku. Padahal sebenernya aku pingin duitnya buat aku semua.
“Ini kamu bawa kartu kredit Papa aja. Asal jangan banyak-banyak pakai uangnya. Tian, atur anak saya, ya. Jangan sampai dia kabur dari kamu.”
“Do I need it? Do I need to escape from him? Ugh… I can’t believe what I hear and what I see. Papa, give it now! Please…”
“Okay dear. Here you are. And you, Tian. Keep an eye of her. She can become a tricky woman, every time. And it’s your money. Keep it well.”
“Thank you, Mr. Anto. Ayo, Vita! Naik mobilku aja!” ajaknya yang langsung aku tolak mentah-mentah.
“Hah? Naik mobil lo? Nggak salah denger? Males ah! Naik mobil Papaku aja! Adem! Hari ini panas banget! Eh, nanti kita ke Café Baskin Robins ya? Aku pingin makan es krim. Kamu mau nggak? Harus mau!” kataku panjang lebar sambil berjalan ke arah mobil Papaku yang terparkir di luar bengkel.
“Iya, Vita! Heran deh! Kamu nggak di sekolah atau di rumah, bawelnya nggak ketolong. Aku udah mulai budeg nih!” protes Tian.
“Biarin! Kalo kamu budeg kan kamu yang rugi, bukan aku. Aku fine aja sih. Mau kamu budeg, buta, katarak, sakit jantung, atau sakit tenggorokan, ya, up to you aja. Aku nggak rugi kok. Cepetan setir deh mobilnya. Aku dah pingin banget nih!”
“Kenapa nggak kamu aja yang nyetir? Napa mesti aku?” protesnya sekali lagi.
“Kebanyakan protes deh! Coba kamu ukur! Jarak aku sama kursi pengemudi kan tiga meter. Kalau jarak kamu sama kursi pengemudi kira-kira dua setengah meter. Jadi, kesimpulannya, yang paling deket dengan kursi pengemudi yang menyetir,” belaku asal.
“Orang aneh. Dosa apa aku punya bos yang anaknya aneh banget? Perasaan dosa aku nggak banyak-banyak amat. Tapi kok ngalamin kayak gini ya?” katanya pelan namun masih dapat terdengar oleh telingaku.
“Dosamu emang nggak banyak, tapi berat semua. Lagian orang yang mau jadi bawahan bos yang anaknya aneh pasti lebih aneh lagi. Dan lagi, itu semua emang udah takdir kamu. Jadi terima nasib aja deh! Cepetan setir!” perintahku.
“Iya, Nyonya Vita. Silahkan masuk,” katanya menyerah sambil membukakan pintu kursi penumpang di belakang.
“Gitu dong! Nyonya Vita… keren juga. Dah yuk! Berangkat!”


Di Café Baskin Robins…
“Eh, itu bukannya putrinya Pak Yohanes Antony? Itu lo. Pemilik bengkel-bengkel terkenal di Semarang. Tahu nggak?” bisik salah satu pengunjung.
“Eh, iya juga ya. Gila! Siapa tuh cowok di sampingnya? Keren banget! Pasti pacarnya deh! Aku yakin! Berita hangat nih! Yuk, kita potret terus kasih ke editor. Kamu wawancara deh,” bisik temannya yang kini telah aku yakini mereka adalah wartawan.
“Jangan! Kita potret aja. Nanti kita wawancara Pak Antony. Pasti Ayahnya bakal memberi tahu yang benar sama kita. Setuju nggak?”
“Iya juga ya. Jadi gini rencananya, aku nanti bakal jalan ke tempat kasir. Begitu dekat, aku langsung potret mereka dan kita langsung kabur. Oke?”
Oh… jadi gini to. Mentang-mentang aku anak pengusaha besar jadi mereka mau seenaknya memotret diriku. Bilang aja secara sukarela aku pun mau. Gimana kalau aku damprat aja mereka? Tapi, jangan deh. Nanti malah banyak yang tahu lagi kalau aku anak pengusaha besar. Nanti malah aku mau diculik lagi. Em… aku pindah ke Café lain aja deh. Daripada bikin perkara disini. Tapi masalahnya, sempet atau nggak aku nyingkir dari sini?
“Eh, Tian. Kita pindah yuk! Tempat kesukaanku dipakai nih… mau ya? Please!” bujukku sok manis. Kalau nggak masalah genting gini, aku nggak akan mau bersikap sok manis sama Tian.
“Emang kenapa sih? Aku udah terlanjur pesen nih. Lagian tempat lain kan masih banyak,” protesnya.
“Mau ya? Nanti aku yang traktir deh kalau kamu mau pindah,” bujukku benar-benar udah khawatir.
“Emang kenapa sih? Tumben kamu baik banget. Ada masalah apa sih? Tempatnya nggak nyaman?” katanya mulai menginterogasi diriku.
“Tian! Ada wartawan di sini, dan mereka bakal motret kita bedua dan bakal wawancara Papaku. Puas? Sekarang kamu mau pergi atau nggak?” bisikku pelan di dekat telinganya.
Namun malang nasibku. Aku nggak memperhatikan wartawan itu yang ternyata telah berjalan ke dekat kasir. Dan saat aku berbisik di telinganya, klik! Dan mereka, dengan sukses kabur setelah mendapatkan gambarku.
“Heh! Wartawan jelek! Balik lo! Beraninya sama cewek! Balik lo!” teriakku sambil mengejar mereka. Aku heran. Emang wartawan kalau di test, ada test lomba larinya ya? Cepet banget larinya! Aku pun terkulai lemah di kursi depan dekat mobil.
“Eh, Vita… sorry. Aku nggak percaya sama kamu. Mau pulang nggak? Atau mau kemana?” tanya Tian pelan di dekatku.
“Terserah kamu deh! Aku capek!” jawabku sambil berjalan menuju mobil Papaku dan duduk di kursi penumpang.
“Gimana kalau kita ke Citraland aja?” usulnya yang langsung aku jawab dengan anggukan kepala.
Dia pun langsung duduk di kursi pengemudi dan menyalakan mobil. Setelah memanaskan mobil untuk kurang lebih tiga puluh detik atau setengah menit, dia memutarkan mobilnya dan meninggalkan tempat parkir.


Di Citraland…
“Tian! Ke Citra 21 yuk! Mau ya? Ada New Moon nih! Mau ya? Harus mau!” ajakku sambil menarik tangannya menuju Citra 21.
“Vit! Aku nggak suka nonton New Sun atau New Day, atau apalah itu! Kita main di G-Fan aja!” tolaknya sambil menarikku ke arah sebaliknya.
“New Moon, Tian! New Moon! Bulan baru! Ngerti nggak? Jangan ke G-Fan ah! Bosen! Nonton aja yuk!” koreksiku.
“Ke G-Fan aja, Vita! Please! Mau ya? Please!”
“Tian, Tian, Tian. Kan Papaku bilang ‘Keep an eye of her. She can become a tricky woman, every time.’ Remember? Sekarang, mau nggak mau, kamu harus mau nemenin aku nonton New Moon! Terserah kamu mau ngelak pakai kata-kata apapun, aku nggak peduli! Kamu harus mau!” perintahku.
“Oke deh! Tapi nanti kamu harus mau nemenin aku main di G-Fan! Kalau kamu nggak mau, aku laporin kamu ke Papa kamu kalau kamu kabur. Deal or no deal?”
“Em… oke deh. Ayo berangkat! Nanti keburu mulai! Itu lo udah mulai ramai! Ayo!” Gila! Tian berat banget sih. Aku tarik sekuat tenaga Cuma bergerak 1 inch. Makan apa aja sih nih anak?
“Iya! Aku bisa jalan sendiri kok,” katanya sambil melepaskan tanganku dari tangannya. Dia pun berjalan mendahului aku menuju Citra 21.
“Yah! Malah jalan duluan! Tungguin dong!” jeritku sambil berlari mendekati dia.


Di Citra 21…
“Perhatian perhatian! Bagi para pengunjung Studio 2 diharap segera memasuki studio dengan membawa tiket masing-masing! Terima kasih!”
Akhirnya! Untung aku datangnya nggak dari tadi. Pasti bakal nunggu bermenit-menit nih. Jadi sekarang aku cuma nunggu kurang lebih lima menit doang. Tapi, biarpun cuma menunggu lima menit, Tian yang sedari tadi menunggu juga sudah terlelap dalam mimpi indahnya.
“Ya ampun Tian! Kamu itu kok bisa tidur sih?! Bangun bangun! Udah mau mulai nih! Tian! Bangun dong!” jeritku di dekat telinga Tian.
“Em… aku dimana sih?” katanya sambil mengucek-ucek matanya.
“Di Citra 21, Tian! Ayo bangun! Udah mau ditutup tuh! Ayo bangun!” jeritku lagi semakin kencang.
“Iya! Ini udah bangun! Ayo masuk!” katanya sambil mendorongku menjauh darinya dan berdiri.
Kita pun berjalan beriringaan menuju Studio 2. Setelah kami memberikan tiket masing-masing dan duduk di tempat sesuai nomor tiket, lampu pun dimatikan.
“Aku nggak ngerti jalan ceritanya nih…” keluh Tian.
“Ya udah. Tidur lagi aja sana!” usulku.
“Boleh? Aku tidur lagi ya. Tapi nanti bangunin lo!”
“Iya! Kalau aku inget. Dah ah. Tidur lagi aja sana!”
“Sst… ini bioskop, Mbak. Dimohon diam!” tegur salah satu penonton di sampingku.
Aku pun mengatupkan mulut lagi dan kembali menonton New Moon. Dan aku mulai berkhayal.
Seandainya aku Isabella Swan. Diperebutkan oleh dua orang, vampire dan werewolf. Aku harap si Edward Cullen sih, Theo. Dan Jacob Black? Em… aku nggak tahu juga ya. Eh, belum tahu. Tapi, aku nggak mau Edward, eh, Theo maksudku, ninggalin aku. Kayak yang di film yang aku tonton ini. Dan aku nggak mau, Jacob, atau siapapun lah, ngerebut first kiss-ku. Aku pinginnya first kiss-ku hanya untuk Edward seorang, eh, Theo seorang. Tapi, kalau Charlie Swan itu Papaku, yang jelas-jelas lebih percayain si Bella sama Jacob daripada sama Edward, eh, percayain Jacob yang belum diketahui daripada sama Theo, mungkin harapanku pupus deh! Papaku yang protektif, penuh ancaman dan hitungan (ingat waktu kejadian di bengkel? Papaku pasti mengancam lalu menghitung), serta semaunya sendiri – ini menurut fakta – mungkin akan buat aku bakal marry sama Jacob! Oh, jangan sampai deh! Nggak boleh terjadi dalam hidupku.

Kokoro ~ Heart (Japanese)

Kodoku na kagakusha ni
tsukurareta robotto
dekibae o iu nara
“kiseki”

dakedo mada tarinai
hitotsu dake dekinai
sore wa “kokoro” to iu
puroguramu

ikuhyaku toshi ga sugi
hitori de nokosareta
kiseki no robotto wa
negau

shiritai ano hito ga
inochi no owari made
watashi ni tsukutteta
“kokoro”

ima ugoki hajimeta
kasoku suru kiseki
nazeka namida ga
tomaranai…

naze watashi furueru?
kasoku suru kodou
kore ga watashi no nozonda “kokoro”?

fushigi kokoro kokoro fushigi
watashi wa shitta yorokobu koto o
fushigi kokoro kokoro fushigi
watashi wa shitta kanashii koto o
fushigi kokoro kokoro fushigi
nande fukaku setsunai…?

ima kidzuki hajimeta
umareta riyuu
okitto hitori wa sabishii
sou, ano hi, ano toki

subete no kioku ni
yadoru “kokoro” ga afuredasu
ima ieru hontou no kotoba
sasageru anata ni

arigatou… kono yo ni watashi o unde kurete
arigatou… isshoni sugoseta hibi o
arigatou… anata ga watashi ni kureta subete
arigatou… eien ni utau

Taukah Kamu Perasaanku

Tahukah kamu kata 'munafik'?
Itulah diriku
Saat aku tersenyum
Hatiku meringis

Tahukah kau kata 'berpura-pura'?
Itulah diriku
Saat aku tertawa
Hatiku menjerit kesakitan

Tahukah kamu perasaanku?
Cinta di lubuk hatiku
Sakit di relung hatiku
Tangis di mataku

Rabu, 08 Juli 2009

Tentang diriku

Keren...
Pintar...
Cantik...
Baik hati...
Murah hati...
Nggak sombong...
Terima kasih!